Pages

Dunia PTC

Jumat, 28 Januari 2011

Koin untuk presiden ..patutkah..?

Koin Untuk Presiden, Patutkah?
Pro-kontra merebak seputar ujaran presiden gajinya tak naik selama tujuh tahun. Patutkah?
Jum'at, 28 Januari 2011, 21:53 WIB
Heri Susanto, Syahid Latif, Dedy Priatmojo, Ajeng Mustika Triyanti, Nur Farida Ahniar, Iwan Kurniawan
Koin untuk Presiden. (ANTARA/ Zabur Karuru)
VIVAnews - Januari 2008, Mahfud MD mendatangi kantor Sekretariat Negara, Jakarta. Diusung sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud yang kala itu masih menjadi anggota DPR, punya agenda khusus: bertanya soal ‘kesejahteraan’ Hakim Konstitusi kepada Menteri Sekretaris Negara, Hatta Rajasa.

“Saya tanya berapa gaji sebagai Hakim Konstitusi,” kata Mahfud saat ditemui VIVAnews.com di gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis, 27 Januari 2011.

Dia juga memberi tambahan informasi bahwa penghasilannya sebagai anggota Dewan mencapai Rp100 juta per bulan. "Wah...kalau jadi Hakim Konstitusi tidak segitu, Pak,” jawab Hatta

Namun, Hatta tak sekadar memberikan kabar buruk. Pemerintah, kata dia, sedang merencanakan kenaikan gaji pejabat negara, termasuk Hakim Konstitusi. Dan keputusannya sudah ada di meja Presiden. “Tapi, Pak Presiden belum mau teken, tidak etis kalau meneken gaji sendiri tanpa diskusi dengan publik lebih dulu,” kata Mahfud menirukan Hatta.
Beberapa tahun berlalu, Hatta kini sudah berganti jabatan menjadi Menko Perekonomian, dan kenaikan gaji tersebut belum juga terjadi. Hatta membenarkan soal proposal kenaikan gaji pejabat yang sudah berada di meja Presiden. "Tapi belum juga disetujui. Sudah tiga tahun usulan ditahan.”


Padahal, usulan kenaikan gaji itu bukan hanya untuk Presiden. Namun, juga untuk 8 ribu pejabat negara. Itu mencakup Presiden, Wakil Presiden, para menteri, pimpinan dan anggota DPR/MPR, pimpinan dan hakim di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Pengadilan, duta besar, gubernur hingga bupati dan walikota di seluruh Nusantara.

Bukan hanya itu. Sekjen Kementerian Keuangan, Mulia Nasution, mengingatkan bahwa pembahasan kenaikan gaji pejabat negara sudah disiapkan sejak lama lewat program reformasi birokrasi dan remunerasi nasional. Pembahasan melibatkan sejumlah kementerian, terutama Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara bersama menteri teknis.

Tim reformasi birokrasi selama lima tahun mengkaji ulang sejumlah aturan hukum soal penggajian, membuat standarisasi dengan mempertimbangkan berbagai indikator, seperti pendapatan per kapita nasional, keadilan, tanggung jawab, risiko, serta gaji pemimpin negara lain yang selevel Indonesia. “Singapura tak jadi acuan karena ketinggian,” kata Mulia.

Bahkan, anggaran kenaikan gaji pejabat juga sudah disiapkan. Karena itu, pemerintah sudah ancang-ancang merealisasikannya tahun ini. Jika terlaksana, berdasarkan struktur gaji yang baru, Presiden akan memperoleh gaji tertinggi di Indonesia dibandingkan pejabat negara lainnya.

Nantinya, Mulia menjelaskan, besaran gaji presiden akan dinilai 100 persen, kemudian secara berjenjang turun ke Wakil Presiden dan berlanjut hingga pejabat negara level paling rendah. Total gaji yang diterima, selain mencakup gaji pokok, juga akan terdiri atas beragam tunjangan, seperti tunjangan jabatan, kesehatan, perumahan, transportasi, telekomunikasi, pensiun dan lainnya.

Dengan perbaikan struktur gaji pejabat negara, pemerintah berharap bisa meningkatkan kinerja, memperbaiki layanan publik, serta mewujudkan birokrasi yang bersih. Penyesuaian gaji pejabat negara itu juga kelanjutan dari perbaikan kesejahteraan yang sudah dinikmati oleh para pegawai pada sedikitnya 12 lembaga pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan, TNI dan kepolisian.

Gaji Presiden
Saat ini, menurut Menteri Keuangan Agus Martowardojo, gaji total yang diterima seorang Presiden Republik Indonesia mencapai Rp62,74 juta per bulan. Itu terdiri atas gaji pokok Rp30,24 juta dan tunjangan Rp32,5 juta.

Di luar gaji yang diterima, memang ada dana operasional yang dikelola rumah tangga kepresidenan. Jumlahnya Rp2 miliar per bulan untuk menunjang kegiatan dinas Presiden dan Rp 1 miliar per bulan untuk kegiatan dinas Wakil Presiden. Selain itu, juga ada fasilitas berupa rumah dinas, mobil dinas, ajudan hingga pasukan pengawal presiden.

Dana taktis miliaran rupiah tersebut bukan saja dipakai untuk membiayai kebutuhan pokok sehari-hari seperti telepon, listrik, air, makan dan beragam kebutuhan rumah tangga lainnya. Namun juga dipakai untuk membeli persediaan bahan bakar minyak, sewa pesawat, obat-obatan, perawatan istana, bahkan hingga biaya umroh pemimpin negara bersama rombongan.

Berdasarkan dokumen hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan Sekretariat Negara 2008 dan 2009 yang diperoleh VIVAnews.com terungkap sejumlah contoh pemakaian dana taktis tersebut.

Sebut saja misalnya untuk BBM, selama 2009, rumah tangga Presiden menghabiskan anggaran Rp 1,5 miliar. Sedangkan, untuk obat-obatan mencapai Rp438 juta.

Akan halnya untuk kegiatan dinas wakil Presiden menghabiskan dana Rp1 miliar untuk BBM dan Rp190 juta untuk obat-obatan selama 2009. Bahkan, BPK menyebutkan, sebanyak Rp1,5 miliar digunakan untuk membiayai perjalanan dinas sekaligus umroh ke Arab Saudi oleh wakil presiden bersama keluarga, pejabat, staf dan wartawan yang totalnya berjumlah 235 orang pada 20-26 Agustus 2009.

“Jadi, dana taktis itu dipakai untuk operasional, termasuk menyumbang organisasi sosial hingga diberikan ke pegawai kecil di Istana,” kata mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada VIVAnews.com, Kamis, 27 Januari 2011. “Dana taktis ini memang dana negara, bukan untuk dibawa pulang.”

Perlu Naik?
Kendati semua kegiatan operasional dibiayai oleh negara, gaji sebesar Rp62 juta bagi seorang Presiden memang memicu perdebatan di publik. Apakah sudah cukup atau memang perlu dinaikkan.

Bagi sebagian orang, gaji Presiden dianggap sudah cukup karena semua fasilitas sudah dipenuhi oleh negara. Mereka pun tidak sepakat dengan usulan kenaikan gaji pemimpin tertinggi Indonesia tersebut. Wujud penolakan dari mereka antara lain berupa munculnya gerakan “Koin Untuk Presiden.”

Salah satu yang tidak sepakat dengan usulan kenaikan gaji Presiden adalah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang sudah pernah mengenyam  beragam fasilitas menjadi presiden, wakil presiden hingga anak presiden.

Menurut Ketua Umum PDI Perjuangan ini, gaji Presiden sudah 28 kali dari produk domestik bruto per kapita Indonesia sehingga sudah lebih dari cukup. “Selama jadi Presiden dan Wapres, saya tak pernah mengeluh soal gaji.”

Jika mengacu pada majalah The Economist edisi 5 Juli 2010, secara nominal gaji Presiden Indonesia memang jauh di bawah pemimpin dunia lainnya, apalagi dibandingkan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong dengan gaji Rp1,7 miliar per bulan.

Namun, jika dibandingkan dengan PDB per kapita, gaji Presiden RI tertinggi ketiga di dunia, berada di bawah Presiden Kenya, Raila Odinga dan PM Singapura.

Pendapat lainnya menilai gaji Presiden Republik Indonesia memang layak dinaikkan karena mempunyai tanggung jawab besar memimpin 240 juta orang penduduk. “Gaji Presiden harus tertinggi dibandingkan pejabat negara lainnya, bahkan mustinya lebih tinggi dari Gubernur Bank Indonesia,” ujar Tanri Abeng, mantan Menteri BUMN.

Karena itu, Tanri yang pernah dijuluki “Manajer 1 Miliar” ini memaklumi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan sudah tujuh tahun tidak pernah naik gaji.

Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR, Harry Azhar Azis, mengatakan hal senada. “Wacana itu justru akan membuka transparansi gaji pejabat negara.”

Harry lantas membandingkan gaji Gubernur BI dan eksekutif BUMN yang jauh melebihi gaji orang nomor satu Indonesia tersebut. Seorang Gubernur BI, menurut Harry, mendapatkan gaji pokok Rp41,1 juta plus tunjangan jabatan Rp121,4 juta per bulan.

Angka tersebut belum termasuk deretan tunjangan lainnya, seperti insentif tiga kali gaji pokok, tunjangan cuti tahunan 1 kali gaji pokok, serta tunjangan hari raya (THR) dua kali Rp145 juta selama setahun.  Belum lagi,  tunjangan hari tua, tunjangan akhir masa jabatan, uang penghargaan masa pengabdian, uang perpisahan, serta bantuan uang duka. Dan ditambah fasilitas lainnya seperti perumahan, transportasi, kesehatan, telekomunikasi, asuransi kecelakaan kerja, kartu kredit dan olahraga. “Selama satu tahun, take home pay seorang Gubernur BI bisa Rp2,4 miliar,” kata Harry.

Itu baru gaji Gubernur BI. Bagaimana dengan eksekutif BUMN?

Ambil saja contohnya, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk., bank terbesar di Indonesia. Mengacu pada Rapat Umum Pemegang Saham pada 4 Mei 2009, gaji pokok Sang Dirut mencapai Rp166 juta per bulan. Jika ditambah tunjangan dan tantiem (bonus), penghasilannya bisa menyentuh Rp705 juta per bulan atau Rp7 miliar per tahun pada 2009. Itu belum termasuk fasilitas perumahan, transportasi dan santunan.

Namun, kata Dirut Bank Mandiri, Zulkifli Hasan, “Jangan bandingkan gaji presiden dengan korporasi. Kalau gaji saya dikatakan [tertinggi], ya Alhamdulillah, tapi saya tidak yakin hal itu,” katanya di Jakarta, Jumat, 28 Januari 2011.

Gaji Gubernur BI dan Dirut Mandiri bisa jadi memang berada di kelompok tertinggi. Namun, menurut Deputi SDM Aparatur Negara Kementerian PAN, Ramli Naibaho, dalam menyusun struktur gaji pejabat negara, gaji Gubernur BI dan Dirut BUMN cuma dijadikan sebagai referensi, namun bukan sebagai pembanding. Alasannya, sumber dana gaji BI dan BUMN berbeda, bukan dari APBN.  "Jadi, Dirut BUMN dan petinggi BI tidak termasuk struktur pejabat negara.”

Yang penting, Ramli menambahkan, struktur gaji pejabat menjadi lebih adil, layak dan sesuai dengan beban kerja. “Jangan ada lagi, gaji pejabat terlalu njomplang.”



• VIVAnews

0 komentar:

Posting Komentar

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "